Saat Ibunda Telah Wafat.......

Ada beberapa wujud manefestasi cinta kasih kepada sang bunda, yang masih dapat kita lakukan saat sang bunda sudah terlebih dahulu meninggalkan dunia ini. Semua bentuk implementasi cinta kasih itu pada dasarnya lebih bersifat tugas dan kewajiban kita. Dengan atau tanpa muatan cinta kasih, semua tugas itu harus kita pikul. Namun adalah kenistaan, bila kita melaksanakan semuanya tanpa landasan cinta kepadanya. Berikut ini, penulis paparkan beberapa di antaranya:

Pertama: Melaksanakan perjanjian dan pesan sang bunda.

Diriwayatkan dari Syaried bin Suwaid Ats-Tsaqafi, bahwa ia menuturkan, “Wahai Rasulullah! Ibuku pernah berpesan kepadaku untuk memerdekakan seorang budak wanita yang beriman. Aku memiliki seorang budah wanita berkulit hitam. Apakah aku harus memerdekakannya?” “Panggil dia.” Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Saat wanita itu datang, beliau bertanya, “Siapa Rabbmu?” Budak wanita itu menjawab, “Allah.” “Lalu, siapa aku?” Tanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lagi. Wanita itu menjawab, “Engkau adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.” Beliaupun bersabda, “Merdekakan dia. Karena dia adalah wanita mukminah[1].”

Kedua: Mendoakan sang ibu, membacakah shalawat dan memohonkan ampunan baginya.

Ibnu Rabi’ah meriwayatkan: Saat kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, tiba-tiba datanglah seorang lelaki dari kalangan Bani Salamah bertanya, “Wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam! Apakah masih tersisa bakti kepada kedua orang tuaku setelah mereka meninggal dunia?” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab, “Ya. Bacakanlah shalat untuk mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, tunaikan perjanjian mereka, peliharalah silaturahim yang biasa dipelihara kala mereka masih hidup, juga, hormati teman-teman mereka[2].”

Abu Hurairah meriwayatkan: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya, Allah Azza wa Jalla bisa saja mengangkat derajat seorang hamba yang shalih di Surga kelak. Si hamba itu akan bertanya, “Ya Rabbi, bagaimana aku bisa mendapatkan derajat sehebat ini?” Allah berfirman, “Karena permohonan ampun dari anakmu[3].”

Salah satu dari tanda cinta kasih kita kepada ibu adalah munculnya pengharapan agar si ibu selalu hidup berbahagia. Bila ia sudah meninggal dunia, kita juga senantiasa mendoakannya, membacakan shalat untuknya serta memohonkan ampunan untuknya. Semua perbuatan tersebut bukanlah hal-hal yang remeh. Dan juga, amat jarang anak yang mampu secara telaten melakukan semua kebajikan tersebut. Padahal, ditinjau dari segi kelayakan, dan segi kesempatan serta kemampuan, sudah seyogyanya setiap anak berusaha melakukannya. Dari kwantitas, semua amalan tersebut tidak membutuhkan banyak waktu. Sekadar perhatian dan kesadaran, yang memang sangat dituntut. Bila seorang anak merasa sangat kurang berbakti kepada kedua orang tuanya, inilah kesempatan yang masih terbuka lebar, untuk menutupi kekurangan tersebut, selama hayat masih dikandung badan.

Ketiga: Memelihara hubungan baik, dengan teman dan kerabat ibu.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa yang tetap ingin menjaga hubungan silaturahim dengan ayahnya yang sudah wafat, hendaknya ia menjaga hubungan baik dengan teman-teman ayahnya yang masih hidup[4].”

Keempat: Melaksanakan beberapa ibadah untuk kebaikan sang ibu.

Sa’ad bin Ubadah pernah bertanya, “Ibuku sudah meninggal dunia. Sedekah apa yang terbaik, yang bisa kulakukan untuknya?” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab, “Air. Gali saja sumur. Lalu katakan: ‘pahala penggunaan sumur ini, untuk ibu Saad[5].”

Demikianlah sekilas tentang hubungan dengan ibu yang menjadi salah satu dari kedua orang tua, sengaja dibatasi pembahasan ini hanya seputar ibu, agar lebih singkat. Mudah-mudahan bermanfaat.

[1] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-Nasaai.

[2] Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak IV : 155, dan beliau berkata, “Hadits ini shahih berdasarkan system periwayatan Al-Bukhari dan Muslim, namun keduanya tidak mengeluarkan hadits tersebut. Adz-Dzahabi berkata, “Shahih.”

[3] Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath-Thabrani dalam Al-Awsath. Disebutkan oleh Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaa-id X : 210.

[4] Diriwayatkan oleh Abu Ya’la. Lihat penjelasannya dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah nomor 1342.

[5] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-Nasaa-ie.

dinukil dari buletin ustadzkholid

Lapangkan Hatimu dalam Menerima Nasihat dan Kebenaran

Di antara sebab tersebarnya kebatilan dan bertambah buruknya keadaan masyarakat adalah berbagai macam alasan yang diada-adakan oleh syaitan dan bala tentaranya demi melestarikan kemungkaran. Umat-umat terdahulu yang menentang dakwah para rasul pun demikian. Ketika para rasul itu menyeru mereka untuk mengesakan Allah dan taat kepada utusan-Nya, maka serentak muncullah berbagai dalih dan argumentasi mereka untuk mengelak dari kewajiban tersebut.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apabila dikatakan kepada mereka; ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian, maka mereka mengatakan; ‘Bahkan kami akan tetap mengikuti apa-apa yang kami dapati dari nenek-nenek moyang kami’. Apakah mereka akan tetap mengikutinya apabila ternyata nenek moyang mereka adalah orang-orang yang tidak memahami apa pun dan sama sekali tidak berada di jalan petunjuk?” (Qs. al-Baqarah: 171)

Wahyu dari Allah yang semestinya mereka hormati dan patuhi pun seolah tidak ada artinya. Para rasul yang telah diberi tugas untuk membimbing mereka pun tak ubahnya mereka anggap seperti orang biasa. Bahkan yang lebih keji lagi mereka menuduh kaum beriman pengikut rasul telah mengikuti seorang lelaki yang tersihir, aduhai betapa besar kedustaan mereka! Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang zalim itu mengatakan; tidaklah kalian mengikuti kecuali seorang lelaki yang dikuasai oleh sihir.” (Qs. al-Furqan: 8). Inilah sunnatullah! Perjalanan dakwah senantiasa dirintangi oleh makhluk-makhluk durhaka yang nekad membangkang kepada Rabbnya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demikian itulah, Kami menjadikan bagi setiap nabi musuh dari kalangan para pendosa.” (Qs. al-Furqan: 31)

Saudaraku –semoga Allah menganugerahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat- apabila kita cermati secara seksama, sekian banyak kemungkaran yang ada di atmosfer kehidupan kaum muslimin pada hari ini, maka akan kita dapatkan bahwa ternyata salah satu senjata syaitan paling ampuh yang menyimpangkan bani Adam dari jalan yang lurus adalah hujjah-hujjah palsu dan kerancuan pemahaman yang memoles kebatilan sehingga tampak menjadi sesuatu yang indah dan menyenangkan. Tidakkah Anda lihat, orang-orang yang sampai saat ini masih enggan meninggalkan gemerlapnya dunia panggung hiburan –entah penyanyi atau bintang film dan sinetron-, kalau anda bertanya kepada mereka; apa yang melatar belakangi mereka dengan suka rela dan tanpa sungkan-sungkan mengobral aurat di layar-layar kaca dan berdandan ala jahiliyah demi memuaskan selera penonton dan sutradara? Maka jawaban mereka tidak lauh dari ungkapan klise dan menyakitkan hati para pecinta Allah dan rasul-Nya; “Ini adalah seni, ini demi menghidupi keluarga saya, ini adalah potret kebebasan hak asasi manusia, ini adalah ekspresi budaya,” atau seabrek kepalsuan yang lainnya. Maha suci Allah, sudah sedemikian rusakkah aqidah kita?

Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah, seorang mukmin hidup bukan untuk memperturutkan kemauan hawa nafsunya. Seorang mukmin menyadari bahwa ujian yang Allah berikan di alam dunia ini adalah kesempatan baginya untuk membuktikan penghambaan dirinya kepada Allah semata. Betapa banyak orang yang mengira bahwa apa yang dilakukannya merupakan kebaikan padahal di sisi Allah ta’ala itu semua tidak ada artinya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; maukah Aku kabarkan kepada kalian orang yang paling merugi amalnya, yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya di dunia namun mereka mengira telah melakukan amal dengan sebaik-baiknya.” (Qs. al-Kahfi: 103-104)

Lalu apa yang semestinya kita kerjakan? Sebuah pertanyaan yang penting untuk dikaji. Untuk mengatasi jerat syaitan yang satu ini, maka seorang hamba memerlukan bimbingan ilmu yang benar di samping keteguhan sikap dalam memihak kepada kebenaran. Orang yang tidak dibekali ilmu yang benar, maka tindakan yang diambilnya pun hampir bisa dipastikan menyimpang dari jalan kebenaran. Oleh sebab itulah setiap harinya kita diajari oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon kepada Allah hidayah menuju jalan yang lurus. Sementara jalan yang lurus itu dibentangkan di atas pondasi ilmu dan keberpihakan konkret kepada kebenaran. Dengan pondasi ilmu maka para peniti jalan tersebut akan terbebas dari kebodohan dan sikap serampangan yang cenderung pada perilaku sesat dan menyimpang. Sedangkan dengan pondasi yang kedua maka para peniti jalan itu akan senantiasa terjaga dari kemurkaan Allah dengan keistiqomahan mereka di atas rel kebenaran. Iman kepada Allah tidak cukup jika tidak disertai keistiqomahan. Sebagaimana ucapan syahadat di lisan tidak cukup jika tidak diiringi dengan ketundukan dan kecintaan. Demikian pula ilmu, tidaklah ia mencukupi apabila tidak disertai dengan amalan.

Sebagian manusia diseret oleh hawa nafsu dan kebodohannya untuk mengikuti aliran orang-orang yang sesat (adh-dhaallin) lagi menyimpang. Bukan karena niat mereka yang buruk, namun karena persepsi mereka tentang kebenaran dan pengabdian telah mengalami distorsi pemikiran. Sedangkan sebagian yang lain cenderung kepada aliran orang-orang yang dimurkai (al-maghdhubi ‘alaihim) akibat pemahaman mereka tidak disertai dengan kecintaan kepada kebenaran dan ketulusan mengabdi kepada ar-Rahman. Mereka tahu tapi enggan mengikuti kebenaran.

Nah, yang kita perbincangkan sekarang bukanlah orang-orang yang enggan mengikuti kebenaran. Yang ingin kita soroti adalah segolongan manusia yang dengan niat baik mereka ‘terpaksa’ harus memposisikan diri mereka di barisan orang yang menyimpang. Meskipun hal itu tidak mereka sadari. Dan inilah yang menyakitkan. Banyak sekali tipu daya Iblis yang mereka serap dan adopsi demi melegalkan penyimpangan yang selama ini mereka tekuni. Di antara alasan yang sering kita dengar dari banyak orang yang menuturkan keadaan orang-orang semacam ini adalah ucapan mereka, “Saya tidak berniat buruk. Niat saya baik. Hanya saja keadaan memaksa saya untuk melakukan hal ini. Saya sadar hal ini akan mengundang banyak kontroversi. Namun, hal itu tidak penting bagi saya. Toh, saya tidak mencari ridha manusia. Apa boleh buat, keadaan menuntut saya melakukannya, dan lagi kalau mau diambil sisi positifnya kan tidak sedikit. Kita harus realistis, tidak semua orang bisa bersikap ideal seperti yang anda inginkan.” Kurang lebih itulah alasan mereka.

Sekilas, ucapan ini terdengar bijak dan menyejukkan. Namun di balik itu semua, syaitan ingin menggiring manusia agar memandang baik diri mereka sendiri dan menempatkan orang lain sebagai penonton belaka. Sehingga mereka tidak lagi berhak untuk mengkritik atau pun mengoreksi sikapnya. Karena sutradara kehidupannya adalah dia, adapun orang lain mungkin tidak mengerti realita dalam pandangannya. Ada ungkapan yang mengatakan, “Sang pemilik rumah tentu lebih mengerti tentang isi rumahnya.” Ya, itu ada benarnya, tapi ingat betapa banyak pemilik rumah yang kebingungan mencari barangnya sendiri yang hilang gara-gara lupa atau terselip di suatu tempat, padahal kejadian itu sama sekali tidak keluar sejengkal pun dari pagar rumahnya! Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui.” (Qs. an-Nahl: 43)

Banyak orang yang mudah menerima kebenaran ketika kebenaran itu tidak mengusik urusan pribadinya. Namun, tidak sedikit pula orang yang menolak kebenaran hanya gara-gara kebenaran itu telah mengusik urusan pribadinya. Tidakkah kita ingat kisah Abu Thalib paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Pada dasarnya dia mengakui kebenaran ajaran yang dibawa oleh keponakannya itu, namun hanya karena khawatir apabila dia mengikuti ajaran itu maka celaan dan komentar miring akan terlontar dari lisan suku Quraisy kepadanya, akhirnya syahadat pun tak mau diucapkannya, walau sekali. Hal itu menunjukkan bahwa keteguhan orang dalam meniti jalan kebenaran akan benar-benar tampak ketika kebenaran itu harus berhadap-hadapan dengan kemauan hawa nafsu dan kebiasaan yang dijalaninya atau yang dijalani oleh masyarakatnya. Ketika berada dalam posisi seperti itu, bagaimanakah sikap yang diambilnya? Itulah cerminan penghambaan dirinya yang sebenarnya.

Sebagian orang –semoga Allah memberi mereka petunjuk- mengira bahwa nasehat yang disampaikan kepada mereka adalah bentuk kelancangan dan kekurangajaran. Terlepas dari keras atau lembut cara menasehatinya, maka tidak selayaknya seorang yang munshif (bersikap adil dan objektif) mencampakkan kebenaran gara-gara kebenaran tersebut datang dengan cara yang tidak berkenan atau kurang pas dalam pandangannya. Ya, itu sah-sah saja seorang menilai bahwa cara orang lain dalam menasihatinya tidak pas atau tidak beradab. Namun, bukan itu yang kita bicarakan! Yang kita maksud adalah kesadaran hati pada diri orang yang mendapatkan teguran agar kembali kepada Allah, dan menyadari kekeliruannya –jika itu sebuah kekeliruan- tanpa menyimpan dendam. Bukankah Allah memerintahkan kita untuk memberikan maaf dan berlapang dada dalam menyikapi kekurangan saudara kita? Bukankah kita pun senang jika kita diperlakukan demikian? Maka alangkah tidak bijaknya kita ketika kita menyadari bahwa hujjah-hujjah yang kita miliki ternyata tidak cukup kuat untuk mempertahankan sikap kita yang keliru atau kurang bijak, kemudian dalam kondisi seperti itu pun kita masih menuntut orang lain secara berlebihan untuk bersikap bijak dan sopan dalam menegur kita. Sementara kita dengan begitu leluasa memuntahkan sejuta alasan untuk menjatuhkan orang yang berbeda pendapat dengan kita. Di sisi lain kita tidak memberikan kesempatan baginya untuk melontarkan kritik kepada kita. Wallahul musta’an.


***

Artikel http://www.muslim.or.id

Kalaulah Bukan Karena Allah Menutupi Aib-Aib Kita

Alhamdulillah, wash shalaatu wassalaamu ‘ala nabiyyinaa Muhammad, wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa man tabi’ahum bi ihsaan, wa ba’d.

Pada zaman Nabi Musa ‘alaihis salam, bani Israel ditimpa musim kemarau yang berkepanjangan. Mereka pun berkumpul mendatangi Nabi mereka. Mereka berkata, “Ya Kaliimallah, berdoalah kepada Rabbmu agar Dia menurunkan hujan kepada kami.” Maka berangkatlah Musa ‘alaihis salam bersama kaumnya menuju padang pasir yang luas. Waktu itu mereka berjumlah lebih dari 70 ribu orang. Mulailah mereka berdoa dengan keadaan yang lusuh dan kumuh penuh debu, haus dan lapar.
Nabi Musa berdoa, “Ilaahi! Asqinaa ghaitsak…. Wansyur ‘alaina rahmatak… warhamnaa bil athfaal ar rudhdha’… wal bahaaim ar rutta’… wal masyaayikh ar rukka’…..”
Setelah itu langit tetap saja terang benderang… matahari pun bersinar makin kemilau… (maksudnya segumpal awan pun tak jua muncul).Kemudian Nabi Musa berdoa lagi, “Ilaahi … asqinaa….”
Allah pun berfirman kepada Musa, “Bagaimana Aku akan menurunkan hujan kepada kalian sedangkan di antara kalian ada seorang hamba yang bermaksiat sejak 40 tahun yang lalu. Umumkanlah di hadapan manusia agar dia berdiri di hadapan kalian semua. Karena dialah, Aku tidak menurunkan hujan untuk kalian…”
Maka Musa pun berteriak di tengah-tengah kaumnya, “Wahai hamba yang bermaksiat kepada Allah sejak 40 tahun… keluarlah ke hadapan kami…. karena engkaulah hujan tak kunjung turun…”
Seorang laki-laki melirik ke kanan dan kiri… maka tak seorang pun yang keluar di hadapan manusia… saat itu pula ia sadar kalau dirinyalah yang dimaksud…..
Ia berkata dalam hatinya, “Kalau aku keluar ke hadapan manusia, maka akan terbuka rahasiaku… Kalau aku tidak berterus terang, maka hujan pun tak akan turun.”
Maka hatinya pun gundah gulana… air matanya pun menetes….. menyesali perbuatan maksiatnya… sambil berkata lirih, “Ya Allah… Aku telah bermaksiat kepadamu selama 40 tahun… selama itu pula Engkau menutupi ‘aibku. Sungguh sekarang aku bertaubat kepada Mu, maka terimalah taubatku…”
Tak lama setelah pengakuan taubatnya tersebut, maka awan-awan tebal pun bermunculan… semakin lama semakin tebal menghitam… dan akhirnya turunlah hujan.
Musa pun keheranan, “Ya Allah, Engkau telah turunkan hujan kepada kami, namun tak seorang pun yang keluar di hadapan manusia.” Allah berfirman, “Aku menurunkan hujan kepada kalian oleh sebab hamba yang karenanya hujan tak kunjung turun.”
Musa berkata, “Ya Allah… Tunjukkan padaku hamba yang taat itu.”
Allah berfirman, “Ya Musa, Aku tidak membuka ‘aibnya padahal ia bermaksiat kepada-Ku, apakah Aku membuka ‘aibnya sedangkan ia taat kepada-Ku?!”
(Kisah ini dikutip dari buku berjudul “Fii Bathni al-Huut” oleh Syaikh DR. Muhammad Al ‘Ariifi, hal. 42)
Subhaanallah… Kalaulah bukan karena Allah menutupi aib-aib kita…

***

Artikel www.muslim.or.id

Buah Sirsak Obat Kanker Yang Disembunyikan As


Sebuah penelitian di Purdue University membuktikan bahwa buah sirsak mampu membunuh sel kanker secara efektif, terutama sel kanker prostat, pankreas, dan paru-paru.
Beberapa waktu belakangan di beberapa milis kesehatan dan e-mail pribadi beredar informasi tentang manfaat dan khasiat dari buah sirsak. Isi dari informasi itu cukup membuat kehebohan dan kegembiraan untuk para penderita kanker.
Karena, berdasarkan data yang dilansir, khasiat dan manfaat dari buah yang di Spanyol dikenal dengan nama graviola, atau dengan nama Inggris, soursop ini banyak disembunyikan oleh perusahaan farmasi di AS.
Ya, berdasarkan data dan hasil penelitian, soursop atau sirsak diakui sebagai pembunuh alami sel kanker yang ajaib dengan 10.000 kali lebih kuat dari pada terapi kemo. Lantas, kenapa informasi ini sampai terabaikan dan tidak tersosialisasikan kepada publik?
Ini lebih disebabkan kepada kepentingan bisnis dunia farmasi agar dana riset yang dikeluarkan sangat besar, selama bertahun-tahun, dapat kembali lebih dulu plus keuntungan berlimpah dengan cara membuat pohon graviola sintetis sebagai bahan baku obat, lalu obatnya dijual ke pasar dunia.
Memprihatinkan memang mengingat banyak orang meninggal sia-sia dan mengenaskan, karena keganasan kanker, sedangkan perusahaan raksasa, pembuat obat dengan omzet miliaran dolar menutup rapat-rapat rahasia keajaiban pohon graviola ini.
Beberapa peneliti di Health Sciences Institute mengakui jika buah sirsak memberikan efek anti tumor/kanker yang sangat kuat, dan terbukti secara medis menyembuhkan segala jenis kanker.
Selain menyembuhkan kanker, buah sirsak juga berfungsi sebagai antibakteri, antijamur (fungi), efektif melawan berbagai jenis parasit/cacing, menurunkan tekanan darah tinggi, depresi, stres, dan menormalkan kembali sistem syaraf yang kurang baik


Penelitian Health Sciences Institute diambil berdasarkan kebiasaan hidup suku Indian yang hidup di hutan Amazon. Beberapa bagian dari pohon ini seperti kulit kayu, akar, daun, daging buah dan bijinya, selama berabad-abad menjadi obat bagi suku Indian. Graviola atau sirsak diyakini mampu menyembuhkan sakit jantung, asma, masalah liver (hati) dan rematik.
Informasi manfaat dan khasiat sirsak tidak serta merta dapat beritahukan karena ada ketentuan undang-undang federal, di mana di dalamnya dinyatakan sumber bahan alami untuk obat dilarang atau tidak bisa dipatenkan sebelum ditemukan unsur sintetisnya.
Sejak 1976, graviola telah terbukti sebagai pembunuh sel kanker yang luar biasa pada uji coba yang dilakukan oleh 20 Laboratorium independen yang berbeda dan dilakukan di bawah pengawasan The National Cancer Institute.
Suatu studi yang dipublikasikan oleh the Journal of Natural Products menyatakan bahwa studi yang dilakukan oleh Catholic University di Korea Selatan, menyebutkan bahwa salah satu unsur kimia yang terkandung di dalam graviola, mampu memilih, membedakan dan membunuh sel kanker usus besar dengan 10.000 kali lebih kuat dibandingkan dengan adriamycin dan terapi kemo!
Penemuan yang paling mencolok dari studi Catholic University ini adalah: graviola bisa menyeleksi memilih dan membunuh hanya sel jahat kanker, sedangkan sel yang sehat tidak tersentuh atau terganggu.
Graviola tidak seperti terapi kemo yang tidak bisa membedakan sel kanker dan sel sehat, maka sel-sel reproduksi (seperti lambung dan rambut) dibunuh habis oleh terapi kemo, sehingga timbul efek negatif rasa mual dan rambut rontok.
Studi di Purdue University membuktikan bahwa daun graviola mampu membunuh sel kanker secara efektif, terutama sel kanker: prostat, pankreas, dan paru-paru.
Hasil riset beberapa universitas itu membuktikan jika pohon ajaib dan buahnya ini bisa:
1. Menyerang sel kanker dengan aman dan efektif secara alami, tanpa rasa mual, berat badan turun, rambut rontok, seperti yang terjadi pada terapi kemo.
2. Melindungi sistim kekebalan tubuh dan mencegah dari infeksi yang mematikan.
3. Energi meningkat dan penampilan fisik membaik.
4. Secara efektif memilih target dan membunuh sel jahat dari 12 tipe kanker yang berbeda, di antaranya kanker usus besar, payudara, prostat, paru-paru, dan pankreas.
5. Daya kerjanya 10.000 kali lebih kuat dalam memperlambat pertumbuhan sel kanker dibandingkan dengan adriamycin dan terapi kemo yang biasa digunakan.
6. Tidak seperti terapi kemo, sari buah ini secara selektif hanya memburu dan membunuh sel-sel jahat dan tidak membahayakan atau membunuh sel-sel sehat.
Kisah lengkap tentang graviola, di mana memperolehnya, dan bagaimana cara memanfaatkannya, dapat dijumpai dalam Beyond Chemotherapy: New Cancer Killers, Safe as Mother’s milk, sebagai bonus terbitan Health Sciences Institute.

Dikutip dari: INILAH.COM

Tutuplah Aib Saudaramu.. Wahai Muslimah

Ketika asyik membicarakan kekurangan orang lain seakan lupa dengan diri sendiri. Seolah diri sendiri sempurna tiada cacat dan cela. Ibarat kata pepatah, “Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tiada tampak.”…

Saudariku muslimah…
Bagi kebanyakan kaum wanita, ibu-ibu ataupun remaja putri, bergunjing membicarakan aib, cacat, atau cela yang ada pada orang lain bukanlah perkara yang besar. Bahkan di mata mereka terbilang remeh, ringan dan begitu gampang meluncur dari lisan. Seolah-olah obrolan tidak asyik bila tidak membicarakan kekurangan orang lain. “Si Fulanah begini dan begitu…”. “Si ‘Alanah orangnya suka ini dan itu…”.
Ketika asyik membicarakan kekurangan orang lain seakan lupa dengan diri sendiri. Seolah diri sendiri sempurna tiada cacat dan cela. Ibarat kata pepatah, “Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tiada tampak.”
Perbuatan seperti ini selain tidak pantas/tidak baik menurut perasaan dan akal sehat kita, ternyata syariat yang mulia pun mengharamkannya bahkan menekankan untuk melakukan yang sebaliknya yaitu menutup dan merahasiakan aib orang lain.
Ketahuilah wahai saudariku, siapa yang suka menceritakan kekurangan dan kesalahan orang lain, maka dirinya pun tidak aman untuk diceritakan oleh orang lain. Seorang ulama salaf berkata, “Aku mendapati orang-orang yang tidak memiliki cacat/cela, lalu mereka membicarakan aib manusia maka manusia pun menceritakan aib-aib mereka. Aku dapati pula orang-orang yang memiliki aib namun mereka menahan diri dari membicarakan aib manusia yang lain, maka manusia pun melupakan aib mereka.”1

Tahukah engkau bahwa manusia itu terbagi dua:
Pertama: Seseorang yang tertutup keadaannya, tidak pernah sedikitpun diketahui berbuat maksiat. Bila orang seperti ini tergelincir dalam kesalahan maka tidak boleh menyingkap dan menceritakannya, karena hal itu termasuk ghibah yang diharamkan. Perbuatan demikian juga berarti menyebarkan kejelekan di kalangan orang-orang yang beriman. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ أَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِيْنَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ
Sesungguhnya orang-orang yang menyenangi tersebarnya perbuatan keji2 di kalangan orang-orang beriman, mereka memperoleh azab yang pedih di dunia dan di akhirat….” (An-Nur: 19)
Kedua: Seorang yang terkenal suka berbuat maksiat dengan terang-terangan, tanpa malu-malu, tidak peduli dengan pandangan dan ucapan orang lain. Maka membicarakan orang seperti ini bukanlah ghibah. Bahkan harus diterangkan keadaannya kepada manusia hingga mereka berhati-hati dari kejelekannya. Karena bila orang seperti ini ditutup-tutupi kejelekannya, dia akan semakin bernafsu untuk berbuat kerusakan, melakukan keharaman dan membuat orang lain berani untuk mengikuti perbuatannya3.
Saudariku muslimah…
Engkau mungkin pernah mendengar hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فيِ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ …
Siapa yang melepaskan dari seorang mukmin satu kesusahan yang sangat dari kesusahan dunia niscaya Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan dari kesusahan di hari kiamat. Siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya Allah akan memudahkannya di dunia dan nanti di akhirat. Siapa yang menutup aib seorang muslim niscaya Allah akan menutup aibnya di dunia dan kelak di akhirat. Dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu menolong saudaranya….” (HR. Muslim no. 2699)
Bila demikian, engkau telah tahu keutamaan orang yang suka menutup aib saudaranya sesama muslim yang memang menjaga kehormatan dirinya, tidak dikenal suka berbuat maksiat namun sebaliknya di tengah manusia ia dikenal sebagai orang baik-baik dan terhormat. Siapa yang menutup aib seorang muslim yang demikian keadaannya, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menutup aibnya di dunia dan kelak di akhirat.

Namun bila di sana ada kemaslahatan atau kebaikan yang hendak dituju dan bila menutupnya akan menambah kejelekan, maka tidak apa-apa bahkan wajib menyampaikan perbuatan jelek/aib/cela yang dilakukan seseorang kepada orang lain yang bisa memberinya hukuman. Jika ia seorang istri maka disampaikan kepada suaminya. Jika ia seorang anak maka disampaikan kepada ayahnya. Jika ia seorang guru di sebuah sekolah maka disampaikan kepada mudir-nya (kepala sekolah). Demikian seterusnya4.
Yang perlu diingat, wahai saudariku, diri kita ini penuh dengan kekurangan, aib, cacat, dan cela. Maka sibukkan diri ini untuk memeriksa dan menghitung aib sendiri, niscaya hal itu sudah menghabiskan waktu tanpa sempat memikirkan dan mencari tahu aib orang lain. Lagi pula, orang yang suka mencari-cari kesalahan orang lain untuk dikupas dan dibicarakan di hadapan manusia, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membalasnya dengan membongkar aibnya walaupun ia berada di dalam rumahnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ اْلإِيْمَانُ قَلْبَهُ، لاَ تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِيْنَ، وَلاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَوْرَاتِهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ
Wahai sekalian orang yang beriman dengan lisannya dan iman itu belum masuk ke dalam hatinya5. Janganlah kalian mengghibah kaum muslimin dan jangan mencari-cari/mengintai aurat6 mereka. Karena orang yang suka mencari-cari aurat kaum muslimin, Allah akan mencari-cari auratnya. Dan siapa yang dicari-cari auratnya oleh Allah, niscaya Allah akan membongkarnya di dalam rumahnya (walaupun ia tersembunyi dari manusia).” (HR. Ahmad 4/420, 421,424 dan Abu Dawud no. 4880. Kata Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud: “Hasan shahih.”)
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma menyampaikan hadits yang sama, ia berkata, “Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke atas mimbar, lalu menyeru dengan suara yang tinggi:
يَا مَعْشَرَ مَنْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُفْضِ اْلإِيْمَانُ إِلَى قَلْبِهِ، لاَ تُؤْذُو الْمُسْلِمِيْنَ، وَلاَ تُعَيِّرُوْهُمْ، وَلاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ، يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِي جَوْفِ رَحْلِهِ
Wahai sekalian orang yang mengaku berislam dengan lisannya dan iman itu belum sampai ke dalam hatinya. Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, janganlah menjelekkan mereka, jangan mencari-cari aurat mereka. Karena orang yang suka mencari-cari aurat saudaranya sesema muslim, Allah akan mencari-cari auratnya. Dan siapa yang dicari-cari auratnya oleh Allah, niscaya Allah akan membongkarnya walau ia berada di tengah tempat tinggalnya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2032, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain, hadits no. 725, 1/581)
Dari hadits di atas tergambar pada kita betapa besarnya kehormatan seorang muslim. Sampai-sampai ketika suatu hari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma memandang ke Ka’bah, ia berkata:
مَا أَعْظَمَكِ وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكِ، وَالْمُؤْمِنُ أَعْظَمَ حُرْمَةً عِنْدَ اللهِ مِنْكِ
Alangkah agungnya engkau dan besarnya kehormatanmu. Namun seorang mukmin lebih besar lagi kehormatannya di sisi Allah darimu.”7
Karena itu saudariku… Tutuplah cela yang ada pada dirimu dengan menutup cela yang ada pada saudaramu yang memang pantas ditutup. Dengan engkau menutup cela saudaramu, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menutup celamu di dunia dan kelak di akhirat. Siapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tutup celanya di dunianya, di hari akhir nanti Allah Subhanahu wa Ta’ala pun akan menutup celanya sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَسْتُرُ اللهُ عَلَى عَبْدٍ فِي الدُّنْيَا إِلاَّ سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Tidaklah Allah menutup aib seorang hamba di dunia melainkan nanti di hari kiamat Allah juga akan menutup aibnya8.” (HR. Muslim no. 6537)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Jami’ul Ulum Wal Hikam (2/291).
2 Baik seseorang yang disebarkan kejelekannya itu benar-benar terjatuh dalam perbuatan tersebut ataupun sekedar tuduhan yang tidak benar.
3 Jami’ul Ulum Wal Hikam (2/293), Syarhul Arba’in Ibnu Daqiqil Ied (hal. 120), Qawa’id wa Fawa`id minal Arba’in An-Nawawiyyah, (hal. 312).
4 Syarhul Arba’in An-Nawawiyyah, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin (hal. 390-391).
5 Yakni lisannya menyatakan keimanan namun iman itu belum menancap di dalam hatinya.
6 Yang dimaksud dengan aurat di sini adalah aib/cacat atau cela dan kejelekan. Dilarang mencari-cari kejelekan seorang muslim untuk kemudian diungkapkan kepada manusia. (Tuhfatul Ahwadzi)
7 Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2032
8 Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu berkata: “Tentang ditutupnya aib si hamba di hari kiamat, ada dua kemungkinan. Pertama: Allah akan menutup kemaksiatan dan aibnya dengan tidak mengumumkannya kepada orang-orang yang ada di mauqif (padang mahsyar). Kedua: Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menghisab aibnya dan tidak menyebut aibnya tersebut.” Namun kata Al-Qadhi, sisi yang pertama lebih nampak karena adanya hadits lain.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16/360)
Hadits yang dimaksud adalah hadits dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ يُدْنِي الْمُؤْمِنَ فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ وَيَسْتُرُهُ فَيَقُوْلُ: أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا، أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا؟ فَيَقُوْلُ: نَعَمْ، أَيْ رَبِّ. حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوْبِهِ وَرَأَى فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ، قَالَ: سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا، وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ. فَيُعْطِي كِتَابَ حَسَنَاتِهِ …
Sesungguhnya (di hari penghisaban nanti) Allah mendekatkan seorang mukmin, lalu Allah meletakkan tabir dan menutupi si mukmin (sehingga penghisabannya tersembunyi dari orang-orang yang hadir di mahsyar). Allah berfirman: ‘Apakah engkau mengetahui dosa ini yang pernah kau lakukan? Apakah engkau tahu dosa itu yang dulunya di dunia engkau kerjakan?’ Si mukmin menjawab: ‘Iya, hamba tahu wahai Rabbku (itu adalah dosa-dosa yang pernah hamba lakukan).’ Hingga ketika si mukmin ini telah mengakui dosa-dosanya dan ia memandang dirinya akan binasa karena dosa-dosa tersebut, Allah memberi kabar gembira padanya: ‘Ketika di dunia Aku menutupi dosa-dosamu ini, dan pada hari ini Aku ampuni dosa-dosamu itu.’ Lalu diberikanlah padanya catatan kebaikan-kebaikannya…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dikutip dari : http://Asysyariah.com, Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah judul: Tutuplah Aib Saudaramu
Sumber :

Kunci dalam Menghafal dan Mengingat

Seorang penuntut ilmu hendaknya mengetahui bahwa menuntut ilmu itu memiliki beberapa tahapan yang harus dilalui. Ia harus memulai dari yang paling penting kemudian yang penting. Ia tidak boleh tergesa-gesa, bahkan ia harus bersabar dan mengetahui kadar kemampuan dirinya. Para ulama kita tidak pernah melewati dan menyimpang dari tahapan menuntut ilmu karena bertahap dalam menuntut ilmu adalah jalan selamat untuk memperoleh ilmu.

Bertahap dalam menuntut ilmu ini berdasarkan firman Allah Tabaaraka wa Ta'ala,

"Dan Al-Qur'an (Kami turunkan) berangsur-angsur agar engkau (Muhammad) membacakannya kepada manusia perlahan-lahan dan Kami menurunkannya secara bertahap."
(Q.S. Al-Israa' : 106)

Dan firman Allah Ta'ala,

"Dan orang-orang kafir berkata: 'Mengapa Al-Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus?' Demikianlah agar Kami memperteguhkan hatimu (Muhammad) dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (berangsur-angsur, perlahan, dan benar)."
(Q.S. Al-Furqaan : 32)

Seorang penuntut ilmu hendaklah memprioritaskan dirinya untuk menghafalkan Al-Qur'an kemudian hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Demikianlah yang dinasihatkan oleh para ulama kepada orang yang hendak menimba ilmu dari mereka.

Ada beberapa hal penting yang dapat membantu penuntut ilmu dalam menghafalkan dan mengingat al-Qur'an, hadits, maupun pelajaran dengan suatu gambaran yang baik, di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Mengikhlaskan niat karena Allah dan mengharapkan ganjaran dari-Nya.

2. Bertakwa kepada Allah dengan cara melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi hal-hal yang diharamkan dan dilarang oleh-Nya.

3. Memanfaatkan masa muda untuk menghafal, karena seseorang yang menghafalkan al-Qur'an di usia muda, akan disatukan darah dan dagingnya (akan dilekatkan dalam dirinya) dengan al-Qur'an oleh Allah. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,

"Barangsiapa yang mempelajari al-Qur'an di masa kecil,
Allah akan mencampurkan dengan daging dan darahnya."
(Hadits riwayat Bukhari)
4. Mulailah dengan memperbaiki teknik bacaan al-Qur'an terlebih dahulu (tahsin). Hal ini harus kita perhatikan baik-baik. Apabila kita menghafal tanpa memahami ilmu tajwid terlebih dahulu, maka nantinya kita akan kerepotan memperbaiki bacaan yang salah dari hafalan yang telah kita miliki. Faedah lainnya dari bacaan al-Qur'an yang sesuai dengan tajwid adalah lebih kuat terekam dalam pikiran dan lebih tertaut dalam hati.

5. Tidak menunda-nunda kesempatan untuk mulai menghafal.

6. Memilih waktu yang terbaik untuk menghafal. Hal ini mungkin berbeda-beda keadaannya pada setiap individu. Ada yang merasa nyaman untuk menghafal di waktu pagi, ada juga yang lebih suka untuk menghafal di malam hari.

7. Memilih tempat yang terbaik untuk menghafal. Imam Ibnu Jama'ah mengatakan (beliau menukil dari al-Khatib) "Tempat yang paling baik untuk menghafal adalah kamar dan setiap tempat yang jauh dari hal-hal yang membuat lalai." Beliau berkata, "Tidak baik apabila menghafal di tempat yang terdapat tumbuhan, di sekitar pohon-pohon yang menghijau, di tepi sungai, di tengah jalan, dan di tempat bising karena hal itu (umumnya) dapat mencegah kosongnya hati (untuk menghafal)." [1]

8. Tidak menghafal pada saat lapar, haus, capek, atau pada saat hatinya sibuk dengan urusan yang lain.

9. Mengosongkan hati dari berbagai kesibukan.

10. Menggunakan satu mushaf saja agar dapat menguatkan hafalan, karena sebuah mushaf dengan mushaf lainnya terkadang memiliki perbedaan tata letak ayat, sehingga hal ini sangat mempengaruhi daya ingat.

11. Membuat target ayat dan hadits yang harus dihafalkan setiap hari. Untuk tahap awal, tak perlu banyak-banyak. Yang penting bisa konsisten. Baru setelah itu ditambah sedikit demi sedikit.

12. Berkemauan tinggi, bersungguh-sungguh, dan terus mengulangi pelajaran agar berhasil menghafal.

13. Tidak putus asa dengan jeleknya kemampuan menghafal dan terus mengulang-ulang pelajaran.

14. Mengulangi pelajaran dengan suara yang dapat didengarnya karena proses mendengarkan dapat membantu kita dalam menghafal.

15. Menggunakan bantuan pena atau kertas untuk menyusun segala apa yang dapat membantunya dalam menghafal, atau bisa juga mengulang-ulang pelajaran dengan cara ditulis16. Mempergunakan indera penglihatan (mata) secara maksimal untuk membantu hafalan. Hal ini terbukti apabila kita sering melihat sesuatu, maka hal tersebut akan lebih mudah terekam dan tertancap dalam hati. Amatilah dan cermati baik-baik huruf demi huruf yang ada dalam mushaf al-Qur'an atau kitab matan hadits. Insya Allah akan lebih memudahkan untuk memunculkan kembali ingatan kita terhadap teks ayat atau hadits tersebut.

17. Makanan yang dikonsumsi harus halal dari hasil usaha yang halal pula.

18. Mengonsumsi madu atau kismis dipercaya dapat memperbaiki hafalan.

19. Memperdengarkan semampunya ayat atau hadits yang telah dihafalkan kepada seorang ustadz yang bacaan dan hafalannya baik.

20. Berhati-hati dari perasaan riya' (ingin dilihat), sum'ah (ingin didengar), dan bisikan-bisikan syaithan.

21. Mendengarkan lantunan tilawah al-Qur'an dari qari' yang hafizh dan bagus bacaannya.

22. Mengulang-ulang ayat yang dihafal secara terjadwal dan berusaha untuk disiplin

23. Mengulang-ulang ayat atau hadits yang dihafal sambil melakukan aktivitas yang ringan, misalnya sambil berjalan, duduk, dan yang lainnya.

24. Membaca ayat yang baru dihafalkan dalam shalat (utamanya shalat tahajjud), karena dapat lebih melekatkan hafalan.
25. Membaca terjemah dan tafsir atau syarah (penjelasan) dari ayat dan hadits yang telah dihafalkan.

26. Bersikaplah cermat terhadap ayat-ayat atau hadits yang memiliki kesamaan lafadz, tetapi pada hakikatnya ada sedikit perbedaan.

27. Jika hafalan telah bertambah, maka jangan pernah lupa untuk tetap mengulang-ulang ayat atau hadits yang dahulu pernah dihafalkan.

28. Berdoalah kepada Allah dengan ikhlas agar diberikan kemudahan dan bisa istiqamah dalam menghafal.

__________________________________
Footnote:

[1] Tadzkiratus Saami' wal Mutakallim fii Aadaabil 'Aalim wal Muta'allim (hal. 119), karya Imam Ibnu Jama'ah rahimahullah.

***************************************************

Disarikan dari buku:

# Panduan Menuntut Ilmu, karya Yazid bin Abdul Qadir Jawas
# Khairu Mu'in fi Hifdzi al-Qur'an Al-Karim, karya Yahya Abdul Fattah Az-Zawawi
# Al-Hatstsu 'ala Hifzh Al-'Ilm wa Dzikr Kibar Al-Huffazh, karya Ibnul Jauzi
http://www.study-islam.web.id/

Menejemen Waktu


Waktu begitu berharga bagi seorang remaja muslim. Dapat dilihat, kebanyakan kita kurang dapat memenej waktu dengan baik. Akhirnya, semua tugas jadi tertunda dan tertunda. Jadinya menumpuk dan urusan yang lebih urgent jadi terbengkalai. Berikut ada tips bagus yang bermanfaat bagi kita untuk memenej waktu.

1. Use a To Do List

Buat daftar kegiatan yang harus kamu lakukan. Tidak hanya sebagai pengingat tapi juga sebagai alat agar kita bisa mengatur waktu kapan harus selesai dan berapa lama kegiatan itu dikerjakan
2. Get Set In Your Ways


Buat rutinitas harian kamu dengan detail. Manajemen waktu yang baik itu menunjukkan organisasi yang baik pula.

3. Break It Up!

Pecahkan tugas besar kamu menjadi tugas-tugas kecil agar memudahkan kamu untuk menyelesaikannya karena kamu sudah menyelesaikan tiap langkah satu persatu.

4. Be Realistic

Jangan memasang target waktu yang tidak masuk akal, berikan waktu tambahan dari estimasi waktu yang diperkirakan.

5. Pick Up a Good Habit

Buat kebiasaan baru yang bisa membuat waktu kamu lebih berharga.

6. Big Messes Start With Little Piles

Selesaikan pekerjaan kamu. Buang segala sesuatu yang tidak dibutuhkan lagi begitu kamu sudah menggunakannya sebelum itu memenuhi ruangan.

7. Start Tomorrow Tonight!

Biasakan untuk mempersiapkan hal-hal yang akan dilakukan besok pada malam sebelumnya, seperti mempersiapkan baju yang akan dipakai besok atau menaruh semua hal yang akan diperlukan pada tempatnya, karena ini akan membuat waktu kita lebih efisien.

8. Don’t Forget To Write Yourself a Note

Gunakan reminder (pengingat) pada To Do List utama kamu. Gunakan HP atau alarm jam tangan

9. Schedule a Task

Hal termudah untuk dapat mengerjakan apa yang ingin kamu kerjakan ialah membuat jadwal.

10. First Things First
Buat prioritas pekerjaan lalu buat jadwal pada waktu yang sesuai. Menurut pengarang buku “Seven Habits” Stephen R. Covey ada 4 level kepentingan dengan mempertimbangkan dua aspek, urgency (kemendesakan) dan importancy (kepentingan) yaitu: (1) urgent dan important, (2) tidak urgent tapi important, (3) urgent tapi tidak important, (4) tidak urgent dan tidak important.

11. Learn to Say No!

Belajar untuk menolak ajakan yang tidak penting dan dapat menggangu tapi lakukan dengan sopan. Kita harus fokus terhadap waktu kita. Stay focus!

12. The Pause that Refreshes

Buat jeda waktu untuk istirahat pada jadwalmu. Ini akan membuat kita refresh dan fokus akan “Apa yang dilakukan selanjutnya?”

13. Be Flexible

Untuk membiasakan diri dengan manajemen waktu yang efektif membutuhkan waktu yang tidak singkat.Jika ada pekerjaan yang tidak bisa dikerjakan tepat waktu, jadikan jadwal kamu fleksibel dengan waktu yang ada.

Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Al Fawaid berkata,



اِضَاعَةُ الوَقْتِ اَشَدُّ مِنَ الموْتِ لِاَنَّ اِضَاعَةَ الوَقْتِ تَقْطَعُكَ عَنِ اللهِ وَالدَّارِ الآخِرَةِ وَالموْتِ يَقْطَعُكَ عَنِ الدُّنْيَا وَاَهْلِهَا



Menyia-nyiakan waktu itu lebih parah dari kematian. Karena menyia-nyiakan waktu memutuskanmu dari (mengingat) Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanya memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”

Semoga Allah memudahkan kita untuk memanfaatkan waktu kita dengan baik.



Artikel www.remajaislam.com


Amalkan Ilmu mu dan Beri Teladan Orang dengan Amalan mu

Bismillah...



Sebagian orang boleh jadi merasa telah banyak merengkuh dan meneguk tetesan dari luapan ilmu.

Akan tetapi ingatkah orang tersebut bahwa ilmu itu bukanlah untuk membuat orang gundah? Apakah dia ingat bahwa ilmu itu seharusnya mendatangkan manfaat? Dan apakah dia ingat bahwa ilmu bukan sekedar ditumpuk akan tetapi ilmu itu harus diamalkan?

Ketika ilmu itu menjadikan dan membawa pemiliknya untuk menciptakan ketenangan, kedamaian, dan ketentraman maka itulah ilmu yang bermanfaat dan itulah ilmu yang akan menjadi nasehat. Karena nasehat itu membawa kebaikan. Ketika ilmu itu menjadikan dan membawa pemiliknya mengamalkan ilmu itu maka itulah ilmu yang bermanfaat dan pemiliknya telah mendapat taufiq dari Allah تعالى.

Begitu pentingnya ilmu yang bermanfaat maka di sana Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengajarkan sebuah do’a yang sangat amat agung;
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ

“Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat dan aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat.”

Datang dari hadits Jabir رضي الله عنه dan Al-Albany berkata: hasan shahih sebagaimana dalam Ash-Shahihah (1/15).

Para ulama mengingatkan dan selalu menyebutkan dalam kitab-kitab mereka yang terkait dengan adab thalibul ilm bahwa salah satu dari adabnya adalah:

Mengamalkan Ilmunya

Mengamalkan ilmu adalah sifatnya para rabbaniyyin dan rasikhin.

Asy-Syaikh Muhammad Al-Hamd حفظه الله berkata dalam kitab “An-Nubadz Fii Adaab Thalabil Ilm” hal. 39-42:

Firman Allah تعالى;
وَلَكِن كُونُواْ رَبَّانِيِّينَ

“Dan akan tetapi jadilah kalian rabbaniyyin.”

Al-Ashmu’iy dan Al-Isma’ily رحمهما الله berkata: “Ar-Rabbany adalah penisbahan kepada Ar-Rabb, yaitu orang yang mengejar apa yang diperintahkan Ar-Rabb (Allah), dengan mengejar ilmu dan amal.”

Tsa’lab رحمه الله berkata: “Para ulama disebut rabbaniyyun karena mereka memelihara ilmu artinya mereka mengamalkan ilmu tersebut.”

Ibnul ‘Araby رحمه الله berkata: “Tidaklah seorang pemilik ilmu dikatakan rabbany sampai dia menjadi seorang ‘alim, yang mengajarkan ilmunya dan mengamalkan ilmunya.”

Dan Allah تعالى berfirman;
وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ

“Dan orang-orang yang rasikh dalam ilmu.”

Ibnu Wahb رحمه الله berkata: Malik رحمه الله: “Ar-Rasikh adalah orang yang ‘alim yang mengamalkan ilmunya, jika dia tidak mengamalkan ilmunya maka dialah orang yang disebut padanya: “Kami berlindung kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat.”

Termasuk perkara yang mengagumkan adalah apa yang teriwayatkan dalam Shahih Muslim, yaitu sebuah urutan sanad yang terantai dengan pengamalan apa yang mereka riwayatkan;

Imam Muslim berkata: Muhammad bin Abdillah bin Numair mengabarkan: Abu Khalid mengabarkan dari Dawud Abi Hind dari An-Nu’man bin Salim dari ‘Amr bin Aus berkata: Anbasah bin Abi Sufyan mengabarkan padaku pada saat sakitnya yang dia meninggal padanya dengan sebuah hadits membangkitkan kegembiraan padanya, dia berkata: Aku mendenga Ummu Habibah رضي الله عنها berkata: Aku mendengar Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
مَنْ صَلَّى اثْنَتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِىَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa shalat (sunnah) dua belas raka’at dalam sehari semalam akan dibangunkan baginya karena shalat itu sebuah rumah di surga.”

Ummu Habibah رضي الله عنها berkata: “Tidaklah aku meninggalkan shalat itu semenjak aku mendengarnya dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم.” ‘Anbasah berkata: “Tidaklah aku meninggalkan shalat itu semenjak aku mendengarnya dari Ummi Habibah.” ‘Amr bin Aus berkata: “”Tidaklah aku meninggalkan shalat itu semenjak aku mendengarnya dari ‘Anbasah.” Dan An-Nu’man bin Salim berkata: “Tidaklah aku meninggalkan shalat itu semenjak aku mendengarnya dari ‘Amr bin Aus.”

Fuqaha’ adalah orang yang mengamalkan ilmunya, hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dari Abu Al-Jabiyah Al-Fara’ bahwa Asy-Sya’by berkata: “Kita bukanlah fuqaha’, akan tetapi kita mendengar hadits maka kita meriwayatkannya. Fuqaha’ adalah jika dia mendapatkan ilmu maka dia mengamalkannya.”

Ilmu akan terjaga pada kita dengan kita mengamalkannya, hal ini sebagaimana dikatakan oleh Waqi’ رحمه الله: “Kami menjaga hadits (yang kami hafal) dengan mengamalkannya.”

Ilmu itu bukan untuk ditumpuk lalu ditinggalkan, akan tetapi ilmu itu untuk diamalkan. Hal ini sebagaimana kata Al-Khathib Al-Baghdady رحمه الله: “Ilmu itu tujuannya untuk diamalkan, dan amalan itu tujuannya untuk cari keselamatan. Jika ilmu itu tidak diamalkan maka ilmu itu akan menjadi sesuatu yang menyuramkan pemiliknya. Kita berlindung kepada Allah dari ilmu yang menjadi sesuatu yang menyuramkan, yang mewariskan kehinaan dan menjadi belenggu di leher pemiliknya.”

Pemilik ilmu yang tidak mengamalkan ilmunya sama seperti yahudi dan terancam adzab yang pedih sebagaimana diterangkan dalam banyak hadits dan juga sebagaimana kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله: “Orang yang paling berat adzabnya pada hari kiamat adalah seorang pemilik ilmu yang tidak diberi manfaat oleh Allah dengan mengamalkannya. Maka dosanya seperti dosanya orang yahudi.”

Abu Zakaria bin An-Nuhas Ad-Dimasyqy رحمه الله berkata: “Seorang pemilik ilmu jika perbuatannya itu menyelisihi ilmunya, dan perbuatannya mendustakan ucapannya, jadilah ia dibenci di bumi dan di langit, jadilah ia menyesatkan orang yang ingin mencontoh dengannya. Jika dia memerintahkan perkara yang dia sendiri tidak mengamalkannya maka pendengaran akan memuntahkan ucapan orang itu, dan dia sedikit wibawanya di mata manusia, dan dia akan kehilangan kedudukan di kalbu (haati) manusia. Sebagaimana kata Malik bin Dinar رحمه الله: “Sesungguhnya seorang pemilik ilmu jika tiak beramal dengan ilmunya, wejangannya tidak akan mempan untuk kalbu (hati) sebagaimana tetesan air akan meleset dari batu yang licin.”

Maka hal ini juga sekaligus peringatan keras bagi para du’at yang selalu mengajak manusia dalam kebaikan namun dia melupakan dirinya sehingga dia menyelisihi manusia, atau orang yang suka melarang manusia dari kejahatan sementara dia sendiri melakukannya. Ingatlah di sana Allah تعالى berfirman;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ * كَبُرَ مَقْتاً عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan. Demikian besar kemurkaan di sisi Allah jika kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan.”

Dan Allah تعالى berfirman;
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ

“Apakah kalian memerintahkan manusia dengan kebaikan dan kalian melupakan diri-diri kalian padahal kalian membaca Al-Kitab? Tidakkah kalian berakal?”

Dan Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda dalam hadits Anas yang dishahihkan oleh Al-Albany;
أَتَيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عَلَى قَوْمٍ تُقْرَضُ شِفَاهُهُمْ بِمَقَارِيضَ مِنْ نَارٍ، كُلَّمَا قُرِضَتْ وَفَتْ، فَقُلْتُ: يَا جِبْرِيلُ، مَنْ هَؤُلَاءِ ؟ قَالَ: خُطَبَاءٌ من أُمَّتِكَ الَّذِينَ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ، وَيَقْرَءُونَ كِتَابَ اللهِ وَلَا يَعْمَلُونَ

“Aku datang pada malam aku di isra’kan kepada suatu kaum bibir-bibir mereka dipotong dengan gunting dari api neraka, setiap kali dipotong sempurna lagi. Maka aku berkata:”Wahai Jibril, siapa mereka itu?” Dia berkata: “Mereka adalah tukang khutbah dari kalangan umatmu, yang mana mereka berkata sesuatu yang tidak mereka amalkan, mereka membaca kitabullah tapi tidak mengamalkannya.”

Maka sifat seorang pengajar adalah menjadi contoh bagi manusia dengan tindakan dan amalannya bukan dengan ucapannya, berdakwah kepada manusia dengan amalannya dan akhlaqnya sebelum berdakwah dengan pelajaran dan khutbahnya.

Abu Ad-Darda’ رضي الله عنه berkata: “Kecelakaan bagi orang yang tidak tahu.” Satu kali ucapan. “Dan kecelakaan bagi orang yang tahu ilmu kemudian tidak mengamalkan ilmunya.” Diucapkan tujuh kali.

Sufyan bin ‘Uyainah رحمه الله berkata: “Seorang ‘alim itu bukanlah yang hanya mengetahui yang baik dan yang buruk. Seorang ‘alim adalah yang mengetahui kebaikan kemudian mengikutinya dan mengetahui kejelekan kemudian menjauhinya.”

Seorang penyair mengatakan:

Wahai orang yang mengajari orang lain

Tidakkah engkau mengajari dirimu?

Mulailah dengan dirimu, laranglah dirimu dari kejelekannya

Jika engkau telah melaksanakannya, maka engkau orang yang bijak

Janganlah engkau melarang seseorang padahal engkau melakukannya

Sungguh besar aibnya jika engkau berbuat demikian.

Keutamaan Anak Shalih


بسم الله الرحمن الرحيم

     عن أبي هريرة ، عن النبي  قال: ((إن الرجل لترفع درجته في الجنة فيقول: أنى هذا ؟ فيقال: باستغفار ولدك لك)) رواه ابن ماجه وأحمد وغيره بإسناد حسن.
     Dari Abu Hurairah  bahwa Nabi  bersabda: “Sungguh seorang manusia akan ditinggikan derajatnya di surga (kelak), maka dia bertanya: Bagaimana (aku bisa mencapai) semua ini? Maka dikatakan padanya: (Ini semua) disebabkan istigfar (permohonan ampun kepada Allah yang selalu diucapkan oleh) anakmu untukmu”[1].
Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan memiliki anak yang shaleh serta keutamaan menikah untuk tujuan mendapatkan keturunan yang shaleh. Imam al-Munawi berkata: “Seandainya tidak ada keutamaan menikah kecuali hadits ini saja maka cukuplah (menunjukkan besarnya keutamaannya)”[2].
    
Faidah-faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:
::: Keutamaan dalam hadits ini berlaku bagi hamba Allah yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan[3].
::: Anak yang shaleh termasuk sebaik-sebaik usaha yang dilakukan oleh seorang mukmin dalam hidupnya, karena semua amal kebaikan yang dilakukan oleh anak yang shaleh pahalanya akan sampai kepada orang tuanya, secara otomatis dan tanpa perlu diniatkan, karena anak termasuk bagian dari usaha orang tuanya. Inilah makna sabda Rasulullah : “Jika seorang manusia mati maka terputuslah (pahala) amalnya kecuali dari tiga perkara: sedekah yang terus mengalir (pahalanya karena diwakafkan), ilmu yang terus diambil manfaatnya (diamalkan sepeninggalnya), dan anak shaleh yang selalu mendoakannya”[4].
::: Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani – semoga Allah  merahmatinya – berkata: “(Semua pahala) amal kebaikan yang dilakukan oleh anak yang shaleh, juga akan diperuntukkan kepada kedua orang tuanya, tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala anak tersebut, karena anak adalah bagian dari usaha dan upaya kedua orang tuanya. Allah  berfirman:
{وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى}
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS an-Najm:39).
     Rasulullah  bersabda: “Sungguh sebaik-baik (rezki) yang dimakan oleh seorang manusia adalah dari usahanya sendiri, dan sungguh anaknya termasuk (bagian) dari usahanya”[5].
     Kandungan ayat dan hadits di atas juga disebutkan dalam hadits-hadist (lain) yang secara khusus menunjukkan sampainya manfaat (pahala) amal kebaikan (yang dilakukan) oleh anak yang shaleh kepada orang tuanya, seperti sedekah, puasa, memerdekakan budak dan yang semisalnya…”[6].
::: Sebagian dari para ulama ada yang menerangkan makna hadits ini yaitu: bahwa seorang anak jika dia menempati kedudukan yang lebih tinggi dari pada ayahnya di surga (nanti), maka dia akan meminta (berdoa) kepada Allah  agar kedudukan ayahnya ditinggikan (seperti kedudukannya), sehingga Allah pun meninggikan (kedudukan) ayahnya. Ini berdasarkan keumuman makna firman Allah:
{آباؤكم وأبناؤكم لا تدرون أيهم أقرب لكم نفعاً}
“(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu” (QS an-Nisaa’:11)[7].
::: Hadits ini juga menunjukkan bahwa istigfar (permohonan ampun kepada Allah) dapat menggugurkan dosa-dosa dan meninggikan derajat seorang hamba sampai pada tingkatan yang tidak dicapai dengan amal perbuatannya yang lain, terlebih lagi jika hamba tersebut banyak beramal shaleh dan melakukan istigfar[8].



[1] HR Ibnu Majah (no. 3660), Ahmad (2/509) dan lain-lain, dishahihkan oleh al-Buushiri dan dihasankan oleh syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaaditsish shahiihah” (no. 1598).
[2] Kitab “Faidhul Qadiir” (2/339).
[3] Ibid.
[4] HSR Muslim (no. 1631).
[5] HR Abu Dawud (no. 3528), an-Nasa’i (no. 4451), at-Tirmidzi (2/287) dan Ibnu Majah (no. 2137), dihasankan oleh imam at-Tirmidzi dan dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.
[6] Kitab “Ahakaamul janaaiz” (hal. 216-217).
[7] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/339).
[8] Ibid.




Tersenyumlah Untuk Kehidupan


Bangunlah istana dari dalam gubuk sederhana
Rajutlah baju yg indah dari dalam rumah tanah
Bukan dari rumah gedung yg megah

Ketika engkau tersenyum,sementara hatimu dilanda dan dipenuhi kesedihan, maka senyum itu akan meringankan beban derita yg kau rasakan,ia akan membukakan pintu kelapangan...
Jangan pernah ragu untuk tersenyum, karena didalam dirimu terdapat potensi yg melimpah untuk tersenyum.
Jadi jangan sekali kali menyembunyikannya,karena itu berarti engkau mencekik dirimu sendiri didalam kaca penyiksaan dan penderitaan.
Sungguh tidak ada ruginya kamu tersenyum, dan berbicara dengan orang lain dengan dgn menggunakan bahasa hati..Alangkah mempesonanya bibir kita ketika kita berbicara dengan bahasa senyuman.
Ketika engkau tersenyum dihadapan orang lain,engkau telah memberi mereka indahnya kehidupan,semangat optimisme,dan memberitahukan kpda mereka tentang harapanmu yg paling indah.
Sebaliknya,,ketika engkau bertemu dgn mereka dngan wajah murung,jauh dari kasih sayang, maka kamu akan menyiksa mereka dengan pemandangan seperti itu, dan mengacaukan kehidupan mereka yg jernih.

Jadi....mengapa kamu rela menjadikan dirimu
sebagai penyebab terjadinya penderitaan
hidup orang

“ keep smille...!! “
From : shohibatuki linda arista rahayu
To : ukhti aziizah anisa rahmawati

  Wassalamu'alaikum
kamis
26-september-2013
“ Ditaman surga penuntut ilmu

Nyamuk pun tak Sembarang Menggigit


Siapapun pasti tak suka digigit nyamuk. Selain menimbulkan rasa gatal, bisa juga tertular penyakit. Jika anda termasuk orang yang sering digigit nyamuk, mungkin anda memang tergolong orang yang digemari nyamuk. Karena ternyata nyamuk tidak sembarang menggigit, tetapi memilih calon korbannya.
                Setidaknya itulah kesimpulan yang disampaikan oleh Jerry Butler, Ph. D, prfesor dari universitas florida, bahwa 1 dari 10 orang sangat menarik bagi nyamuk. Tapi jangan salah, darah yang dihisap bukan menjadi santap malam si nyamuk. Tapi digunakan untuk perkembangan telur nyamuk. Hmm.... itulah mengapa, hanya nyamuk betina yang menghisap darah.
                Nyamuk juga memilih bagian tubuh tertentu untuk digigit. “’ ada sejumlah penelitian yang sedang diselenggarakan pada berbagai bau- bauan yang terpancar dari tubuh manusia, yang kemungkinan menarik bagi nyamuk,’ kata Joe Conlon , Ph.D, Penasehat teknis american Mosquito Control Association.