Tutuplah Aib Saudaramu.. Wahai Muslimah

Ketika asyik membicarakan kekurangan orang lain seakan lupa dengan diri sendiri. Seolah diri sendiri sempurna tiada cacat dan cela. Ibarat kata pepatah, “Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tiada tampak.”…

Saudariku muslimah…
Bagi kebanyakan kaum wanita, ibu-ibu ataupun remaja putri, bergunjing membicarakan aib, cacat, atau cela yang ada pada orang lain bukanlah perkara yang besar. Bahkan di mata mereka terbilang remeh, ringan dan begitu gampang meluncur dari lisan. Seolah-olah obrolan tidak asyik bila tidak membicarakan kekurangan orang lain. “Si Fulanah begini dan begitu…”. “Si ‘Alanah orangnya suka ini dan itu…”.
Ketika asyik membicarakan kekurangan orang lain seakan lupa dengan diri sendiri. Seolah diri sendiri sempurna tiada cacat dan cela. Ibarat kata pepatah, “Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tiada tampak.”
Perbuatan seperti ini selain tidak pantas/tidak baik menurut perasaan dan akal sehat kita, ternyata syariat yang mulia pun mengharamkannya bahkan menekankan untuk melakukan yang sebaliknya yaitu menutup dan merahasiakan aib orang lain.
Ketahuilah wahai saudariku, siapa yang suka menceritakan kekurangan dan kesalahan orang lain, maka dirinya pun tidak aman untuk diceritakan oleh orang lain. Seorang ulama salaf berkata, “Aku mendapati orang-orang yang tidak memiliki cacat/cela, lalu mereka membicarakan aib manusia maka manusia pun menceritakan aib-aib mereka. Aku dapati pula orang-orang yang memiliki aib namun mereka menahan diri dari membicarakan aib manusia yang lain, maka manusia pun melupakan aib mereka.”1

Tahukah engkau bahwa manusia itu terbagi dua:
Pertama: Seseorang yang tertutup keadaannya, tidak pernah sedikitpun diketahui berbuat maksiat. Bila orang seperti ini tergelincir dalam kesalahan maka tidak boleh menyingkap dan menceritakannya, karena hal itu termasuk ghibah yang diharamkan. Perbuatan demikian juga berarti menyebarkan kejelekan di kalangan orang-orang yang beriman. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ أَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِيْنَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ
Sesungguhnya orang-orang yang menyenangi tersebarnya perbuatan keji2 di kalangan orang-orang beriman, mereka memperoleh azab yang pedih di dunia dan di akhirat….” (An-Nur: 19)
Kedua: Seorang yang terkenal suka berbuat maksiat dengan terang-terangan, tanpa malu-malu, tidak peduli dengan pandangan dan ucapan orang lain. Maka membicarakan orang seperti ini bukanlah ghibah. Bahkan harus diterangkan keadaannya kepada manusia hingga mereka berhati-hati dari kejelekannya. Karena bila orang seperti ini ditutup-tutupi kejelekannya, dia akan semakin bernafsu untuk berbuat kerusakan, melakukan keharaman dan membuat orang lain berani untuk mengikuti perbuatannya3.
Saudariku muslimah…
Engkau mungkin pernah mendengar hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فيِ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ …
Siapa yang melepaskan dari seorang mukmin satu kesusahan yang sangat dari kesusahan dunia niscaya Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan dari kesusahan di hari kiamat. Siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya Allah akan memudahkannya di dunia dan nanti di akhirat. Siapa yang menutup aib seorang muslim niscaya Allah akan menutup aibnya di dunia dan kelak di akhirat. Dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu menolong saudaranya….” (HR. Muslim no. 2699)
Bila demikian, engkau telah tahu keutamaan orang yang suka menutup aib saudaranya sesama muslim yang memang menjaga kehormatan dirinya, tidak dikenal suka berbuat maksiat namun sebaliknya di tengah manusia ia dikenal sebagai orang baik-baik dan terhormat. Siapa yang menutup aib seorang muslim yang demikian keadaannya, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menutup aibnya di dunia dan kelak di akhirat.

Namun bila di sana ada kemaslahatan atau kebaikan yang hendak dituju dan bila menutupnya akan menambah kejelekan, maka tidak apa-apa bahkan wajib menyampaikan perbuatan jelek/aib/cela yang dilakukan seseorang kepada orang lain yang bisa memberinya hukuman. Jika ia seorang istri maka disampaikan kepada suaminya. Jika ia seorang anak maka disampaikan kepada ayahnya. Jika ia seorang guru di sebuah sekolah maka disampaikan kepada mudir-nya (kepala sekolah). Demikian seterusnya4.
Yang perlu diingat, wahai saudariku, diri kita ini penuh dengan kekurangan, aib, cacat, dan cela. Maka sibukkan diri ini untuk memeriksa dan menghitung aib sendiri, niscaya hal itu sudah menghabiskan waktu tanpa sempat memikirkan dan mencari tahu aib orang lain. Lagi pula, orang yang suka mencari-cari kesalahan orang lain untuk dikupas dan dibicarakan di hadapan manusia, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membalasnya dengan membongkar aibnya walaupun ia berada di dalam rumahnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ اْلإِيْمَانُ قَلْبَهُ، لاَ تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِيْنَ، وَلاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَوْرَاتِهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ
Wahai sekalian orang yang beriman dengan lisannya dan iman itu belum masuk ke dalam hatinya5. Janganlah kalian mengghibah kaum muslimin dan jangan mencari-cari/mengintai aurat6 mereka. Karena orang yang suka mencari-cari aurat kaum muslimin, Allah akan mencari-cari auratnya. Dan siapa yang dicari-cari auratnya oleh Allah, niscaya Allah akan membongkarnya di dalam rumahnya (walaupun ia tersembunyi dari manusia).” (HR. Ahmad 4/420, 421,424 dan Abu Dawud no. 4880. Kata Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud: “Hasan shahih.”)
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma menyampaikan hadits yang sama, ia berkata, “Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke atas mimbar, lalu menyeru dengan suara yang tinggi:
يَا مَعْشَرَ مَنْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُفْضِ اْلإِيْمَانُ إِلَى قَلْبِهِ، لاَ تُؤْذُو الْمُسْلِمِيْنَ، وَلاَ تُعَيِّرُوْهُمْ، وَلاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ، يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِي جَوْفِ رَحْلِهِ
Wahai sekalian orang yang mengaku berislam dengan lisannya dan iman itu belum sampai ke dalam hatinya. Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, janganlah menjelekkan mereka, jangan mencari-cari aurat mereka. Karena orang yang suka mencari-cari aurat saudaranya sesema muslim, Allah akan mencari-cari auratnya. Dan siapa yang dicari-cari auratnya oleh Allah, niscaya Allah akan membongkarnya walau ia berada di tengah tempat tinggalnya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2032, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain, hadits no. 725, 1/581)
Dari hadits di atas tergambar pada kita betapa besarnya kehormatan seorang muslim. Sampai-sampai ketika suatu hari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma memandang ke Ka’bah, ia berkata:
مَا أَعْظَمَكِ وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكِ، وَالْمُؤْمِنُ أَعْظَمَ حُرْمَةً عِنْدَ اللهِ مِنْكِ
Alangkah agungnya engkau dan besarnya kehormatanmu. Namun seorang mukmin lebih besar lagi kehormatannya di sisi Allah darimu.”7
Karena itu saudariku… Tutuplah cela yang ada pada dirimu dengan menutup cela yang ada pada saudaramu yang memang pantas ditutup. Dengan engkau menutup cela saudaramu, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menutup celamu di dunia dan kelak di akhirat. Siapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tutup celanya di dunianya, di hari akhir nanti Allah Subhanahu wa Ta’ala pun akan menutup celanya sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَسْتُرُ اللهُ عَلَى عَبْدٍ فِي الدُّنْيَا إِلاَّ سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Tidaklah Allah menutup aib seorang hamba di dunia melainkan nanti di hari kiamat Allah juga akan menutup aibnya8.” (HR. Muslim no. 6537)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Jami’ul Ulum Wal Hikam (2/291).
2 Baik seseorang yang disebarkan kejelekannya itu benar-benar terjatuh dalam perbuatan tersebut ataupun sekedar tuduhan yang tidak benar.
3 Jami’ul Ulum Wal Hikam (2/293), Syarhul Arba’in Ibnu Daqiqil Ied (hal. 120), Qawa’id wa Fawa`id minal Arba’in An-Nawawiyyah, (hal. 312).
4 Syarhul Arba’in An-Nawawiyyah, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin (hal. 390-391).
5 Yakni lisannya menyatakan keimanan namun iman itu belum menancap di dalam hatinya.
6 Yang dimaksud dengan aurat di sini adalah aib/cacat atau cela dan kejelekan. Dilarang mencari-cari kejelekan seorang muslim untuk kemudian diungkapkan kepada manusia. (Tuhfatul Ahwadzi)
7 Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2032
8 Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu berkata: “Tentang ditutupnya aib si hamba di hari kiamat, ada dua kemungkinan. Pertama: Allah akan menutup kemaksiatan dan aibnya dengan tidak mengumumkannya kepada orang-orang yang ada di mauqif (padang mahsyar). Kedua: Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menghisab aibnya dan tidak menyebut aibnya tersebut.” Namun kata Al-Qadhi, sisi yang pertama lebih nampak karena adanya hadits lain.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16/360)
Hadits yang dimaksud adalah hadits dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ يُدْنِي الْمُؤْمِنَ فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ وَيَسْتُرُهُ فَيَقُوْلُ: أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا، أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا؟ فَيَقُوْلُ: نَعَمْ، أَيْ رَبِّ. حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوْبِهِ وَرَأَى فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ، قَالَ: سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا، وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ. فَيُعْطِي كِتَابَ حَسَنَاتِهِ …
Sesungguhnya (di hari penghisaban nanti) Allah mendekatkan seorang mukmin, lalu Allah meletakkan tabir dan menutupi si mukmin (sehingga penghisabannya tersembunyi dari orang-orang yang hadir di mahsyar). Allah berfirman: ‘Apakah engkau mengetahui dosa ini yang pernah kau lakukan? Apakah engkau tahu dosa itu yang dulunya di dunia engkau kerjakan?’ Si mukmin menjawab: ‘Iya, hamba tahu wahai Rabbku (itu adalah dosa-dosa yang pernah hamba lakukan).’ Hingga ketika si mukmin ini telah mengakui dosa-dosanya dan ia memandang dirinya akan binasa karena dosa-dosa tersebut, Allah memberi kabar gembira padanya: ‘Ketika di dunia Aku menutupi dosa-dosamu ini, dan pada hari ini Aku ampuni dosa-dosamu itu.’ Lalu diberikanlah padanya catatan kebaikan-kebaikannya…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dikutip dari : http://Asysyariah.com, Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah judul: Tutuplah Aib Saudaramu
Sumber :

Kunci dalam Menghafal dan Mengingat

Seorang penuntut ilmu hendaknya mengetahui bahwa menuntut ilmu itu memiliki beberapa tahapan yang harus dilalui. Ia harus memulai dari yang paling penting kemudian yang penting. Ia tidak boleh tergesa-gesa, bahkan ia harus bersabar dan mengetahui kadar kemampuan dirinya. Para ulama kita tidak pernah melewati dan menyimpang dari tahapan menuntut ilmu karena bertahap dalam menuntut ilmu adalah jalan selamat untuk memperoleh ilmu.

Bertahap dalam menuntut ilmu ini berdasarkan firman Allah Tabaaraka wa Ta'ala,

"Dan Al-Qur'an (Kami turunkan) berangsur-angsur agar engkau (Muhammad) membacakannya kepada manusia perlahan-lahan dan Kami menurunkannya secara bertahap."
(Q.S. Al-Israa' : 106)

Dan firman Allah Ta'ala,

"Dan orang-orang kafir berkata: 'Mengapa Al-Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus?' Demikianlah agar Kami memperteguhkan hatimu (Muhammad) dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (berangsur-angsur, perlahan, dan benar)."
(Q.S. Al-Furqaan : 32)

Seorang penuntut ilmu hendaklah memprioritaskan dirinya untuk menghafalkan Al-Qur'an kemudian hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Demikianlah yang dinasihatkan oleh para ulama kepada orang yang hendak menimba ilmu dari mereka.

Ada beberapa hal penting yang dapat membantu penuntut ilmu dalam menghafalkan dan mengingat al-Qur'an, hadits, maupun pelajaran dengan suatu gambaran yang baik, di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Mengikhlaskan niat karena Allah dan mengharapkan ganjaran dari-Nya.

2. Bertakwa kepada Allah dengan cara melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi hal-hal yang diharamkan dan dilarang oleh-Nya.

3. Memanfaatkan masa muda untuk menghafal, karena seseorang yang menghafalkan al-Qur'an di usia muda, akan disatukan darah dan dagingnya (akan dilekatkan dalam dirinya) dengan al-Qur'an oleh Allah. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,

"Barangsiapa yang mempelajari al-Qur'an di masa kecil,
Allah akan mencampurkan dengan daging dan darahnya."
(Hadits riwayat Bukhari)
4. Mulailah dengan memperbaiki teknik bacaan al-Qur'an terlebih dahulu (tahsin). Hal ini harus kita perhatikan baik-baik. Apabila kita menghafal tanpa memahami ilmu tajwid terlebih dahulu, maka nantinya kita akan kerepotan memperbaiki bacaan yang salah dari hafalan yang telah kita miliki. Faedah lainnya dari bacaan al-Qur'an yang sesuai dengan tajwid adalah lebih kuat terekam dalam pikiran dan lebih tertaut dalam hati.

5. Tidak menunda-nunda kesempatan untuk mulai menghafal.

6. Memilih waktu yang terbaik untuk menghafal. Hal ini mungkin berbeda-beda keadaannya pada setiap individu. Ada yang merasa nyaman untuk menghafal di waktu pagi, ada juga yang lebih suka untuk menghafal di malam hari.

7. Memilih tempat yang terbaik untuk menghafal. Imam Ibnu Jama'ah mengatakan (beliau menukil dari al-Khatib) "Tempat yang paling baik untuk menghafal adalah kamar dan setiap tempat yang jauh dari hal-hal yang membuat lalai." Beliau berkata, "Tidak baik apabila menghafal di tempat yang terdapat tumbuhan, di sekitar pohon-pohon yang menghijau, di tepi sungai, di tengah jalan, dan di tempat bising karena hal itu (umumnya) dapat mencegah kosongnya hati (untuk menghafal)." [1]

8. Tidak menghafal pada saat lapar, haus, capek, atau pada saat hatinya sibuk dengan urusan yang lain.

9. Mengosongkan hati dari berbagai kesibukan.

10. Menggunakan satu mushaf saja agar dapat menguatkan hafalan, karena sebuah mushaf dengan mushaf lainnya terkadang memiliki perbedaan tata letak ayat, sehingga hal ini sangat mempengaruhi daya ingat.

11. Membuat target ayat dan hadits yang harus dihafalkan setiap hari. Untuk tahap awal, tak perlu banyak-banyak. Yang penting bisa konsisten. Baru setelah itu ditambah sedikit demi sedikit.

12. Berkemauan tinggi, bersungguh-sungguh, dan terus mengulangi pelajaran agar berhasil menghafal.

13. Tidak putus asa dengan jeleknya kemampuan menghafal dan terus mengulang-ulang pelajaran.

14. Mengulangi pelajaran dengan suara yang dapat didengarnya karena proses mendengarkan dapat membantu kita dalam menghafal.

15. Menggunakan bantuan pena atau kertas untuk menyusun segala apa yang dapat membantunya dalam menghafal, atau bisa juga mengulang-ulang pelajaran dengan cara ditulis16. Mempergunakan indera penglihatan (mata) secara maksimal untuk membantu hafalan. Hal ini terbukti apabila kita sering melihat sesuatu, maka hal tersebut akan lebih mudah terekam dan tertancap dalam hati. Amatilah dan cermati baik-baik huruf demi huruf yang ada dalam mushaf al-Qur'an atau kitab matan hadits. Insya Allah akan lebih memudahkan untuk memunculkan kembali ingatan kita terhadap teks ayat atau hadits tersebut.

17. Makanan yang dikonsumsi harus halal dari hasil usaha yang halal pula.

18. Mengonsumsi madu atau kismis dipercaya dapat memperbaiki hafalan.

19. Memperdengarkan semampunya ayat atau hadits yang telah dihafalkan kepada seorang ustadz yang bacaan dan hafalannya baik.

20. Berhati-hati dari perasaan riya' (ingin dilihat), sum'ah (ingin didengar), dan bisikan-bisikan syaithan.

21. Mendengarkan lantunan tilawah al-Qur'an dari qari' yang hafizh dan bagus bacaannya.

22. Mengulang-ulang ayat yang dihafal secara terjadwal dan berusaha untuk disiplin

23. Mengulang-ulang ayat atau hadits yang dihafal sambil melakukan aktivitas yang ringan, misalnya sambil berjalan, duduk, dan yang lainnya.

24. Membaca ayat yang baru dihafalkan dalam shalat (utamanya shalat tahajjud), karena dapat lebih melekatkan hafalan.
25. Membaca terjemah dan tafsir atau syarah (penjelasan) dari ayat dan hadits yang telah dihafalkan.

26. Bersikaplah cermat terhadap ayat-ayat atau hadits yang memiliki kesamaan lafadz, tetapi pada hakikatnya ada sedikit perbedaan.

27. Jika hafalan telah bertambah, maka jangan pernah lupa untuk tetap mengulang-ulang ayat atau hadits yang dahulu pernah dihafalkan.

28. Berdoalah kepada Allah dengan ikhlas agar diberikan kemudahan dan bisa istiqamah dalam menghafal.

__________________________________
Footnote:

[1] Tadzkiratus Saami' wal Mutakallim fii Aadaabil 'Aalim wal Muta'allim (hal. 119), karya Imam Ibnu Jama'ah rahimahullah.

***************************************************

Disarikan dari buku:

# Panduan Menuntut Ilmu, karya Yazid bin Abdul Qadir Jawas
# Khairu Mu'in fi Hifdzi al-Qur'an Al-Karim, karya Yahya Abdul Fattah Az-Zawawi
# Al-Hatstsu 'ala Hifzh Al-'Ilm wa Dzikr Kibar Al-Huffazh, karya Ibnul Jauzi
http://www.study-islam.web.id/

Menejemen Waktu


Waktu begitu berharga bagi seorang remaja muslim. Dapat dilihat, kebanyakan kita kurang dapat memenej waktu dengan baik. Akhirnya, semua tugas jadi tertunda dan tertunda. Jadinya menumpuk dan urusan yang lebih urgent jadi terbengkalai. Berikut ada tips bagus yang bermanfaat bagi kita untuk memenej waktu.

1. Use a To Do List

Buat daftar kegiatan yang harus kamu lakukan. Tidak hanya sebagai pengingat tapi juga sebagai alat agar kita bisa mengatur waktu kapan harus selesai dan berapa lama kegiatan itu dikerjakan
2. Get Set In Your Ways


Buat rutinitas harian kamu dengan detail. Manajemen waktu yang baik itu menunjukkan organisasi yang baik pula.

3. Break It Up!

Pecahkan tugas besar kamu menjadi tugas-tugas kecil agar memudahkan kamu untuk menyelesaikannya karena kamu sudah menyelesaikan tiap langkah satu persatu.

4. Be Realistic

Jangan memasang target waktu yang tidak masuk akal, berikan waktu tambahan dari estimasi waktu yang diperkirakan.

5. Pick Up a Good Habit

Buat kebiasaan baru yang bisa membuat waktu kamu lebih berharga.

6. Big Messes Start With Little Piles

Selesaikan pekerjaan kamu. Buang segala sesuatu yang tidak dibutuhkan lagi begitu kamu sudah menggunakannya sebelum itu memenuhi ruangan.

7. Start Tomorrow Tonight!

Biasakan untuk mempersiapkan hal-hal yang akan dilakukan besok pada malam sebelumnya, seperti mempersiapkan baju yang akan dipakai besok atau menaruh semua hal yang akan diperlukan pada tempatnya, karena ini akan membuat waktu kita lebih efisien.

8. Don’t Forget To Write Yourself a Note

Gunakan reminder (pengingat) pada To Do List utama kamu. Gunakan HP atau alarm jam tangan

9. Schedule a Task

Hal termudah untuk dapat mengerjakan apa yang ingin kamu kerjakan ialah membuat jadwal.

10. First Things First
Buat prioritas pekerjaan lalu buat jadwal pada waktu yang sesuai. Menurut pengarang buku “Seven Habits” Stephen R. Covey ada 4 level kepentingan dengan mempertimbangkan dua aspek, urgency (kemendesakan) dan importancy (kepentingan) yaitu: (1) urgent dan important, (2) tidak urgent tapi important, (3) urgent tapi tidak important, (4) tidak urgent dan tidak important.

11. Learn to Say No!

Belajar untuk menolak ajakan yang tidak penting dan dapat menggangu tapi lakukan dengan sopan. Kita harus fokus terhadap waktu kita. Stay focus!

12. The Pause that Refreshes

Buat jeda waktu untuk istirahat pada jadwalmu. Ini akan membuat kita refresh dan fokus akan “Apa yang dilakukan selanjutnya?”

13. Be Flexible

Untuk membiasakan diri dengan manajemen waktu yang efektif membutuhkan waktu yang tidak singkat.Jika ada pekerjaan yang tidak bisa dikerjakan tepat waktu, jadikan jadwal kamu fleksibel dengan waktu yang ada.

Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Al Fawaid berkata,



اِضَاعَةُ الوَقْتِ اَشَدُّ مِنَ الموْتِ لِاَنَّ اِضَاعَةَ الوَقْتِ تَقْطَعُكَ عَنِ اللهِ وَالدَّارِ الآخِرَةِ وَالموْتِ يَقْطَعُكَ عَنِ الدُّنْيَا وَاَهْلِهَا



Menyia-nyiakan waktu itu lebih parah dari kematian. Karena menyia-nyiakan waktu memutuskanmu dari (mengingat) Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanya memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”

Semoga Allah memudahkan kita untuk memanfaatkan waktu kita dengan baik.



Artikel www.remajaislam.com


Amalkan Ilmu mu dan Beri Teladan Orang dengan Amalan mu

Bismillah...



Sebagian orang boleh jadi merasa telah banyak merengkuh dan meneguk tetesan dari luapan ilmu.

Akan tetapi ingatkah orang tersebut bahwa ilmu itu bukanlah untuk membuat orang gundah? Apakah dia ingat bahwa ilmu itu seharusnya mendatangkan manfaat? Dan apakah dia ingat bahwa ilmu bukan sekedar ditumpuk akan tetapi ilmu itu harus diamalkan?

Ketika ilmu itu menjadikan dan membawa pemiliknya untuk menciptakan ketenangan, kedamaian, dan ketentraman maka itulah ilmu yang bermanfaat dan itulah ilmu yang akan menjadi nasehat. Karena nasehat itu membawa kebaikan. Ketika ilmu itu menjadikan dan membawa pemiliknya mengamalkan ilmu itu maka itulah ilmu yang bermanfaat dan pemiliknya telah mendapat taufiq dari Allah تعالى.

Begitu pentingnya ilmu yang bermanfaat maka di sana Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengajarkan sebuah do’a yang sangat amat agung;
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ

“Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat dan aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat.”

Datang dari hadits Jabir رضي الله عنه dan Al-Albany berkata: hasan shahih sebagaimana dalam Ash-Shahihah (1/15).

Para ulama mengingatkan dan selalu menyebutkan dalam kitab-kitab mereka yang terkait dengan adab thalibul ilm bahwa salah satu dari adabnya adalah:

Mengamalkan Ilmunya

Mengamalkan ilmu adalah sifatnya para rabbaniyyin dan rasikhin.

Asy-Syaikh Muhammad Al-Hamd حفظه الله berkata dalam kitab “An-Nubadz Fii Adaab Thalabil Ilm” hal. 39-42:

Firman Allah تعالى;
وَلَكِن كُونُواْ رَبَّانِيِّينَ

“Dan akan tetapi jadilah kalian rabbaniyyin.”

Al-Ashmu’iy dan Al-Isma’ily رحمهما الله berkata: “Ar-Rabbany adalah penisbahan kepada Ar-Rabb, yaitu orang yang mengejar apa yang diperintahkan Ar-Rabb (Allah), dengan mengejar ilmu dan amal.”

Tsa’lab رحمه الله berkata: “Para ulama disebut rabbaniyyun karena mereka memelihara ilmu artinya mereka mengamalkan ilmu tersebut.”

Ibnul ‘Araby رحمه الله berkata: “Tidaklah seorang pemilik ilmu dikatakan rabbany sampai dia menjadi seorang ‘alim, yang mengajarkan ilmunya dan mengamalkan ilmunya.”

Dan Allah تعالى berfirman;
وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ

“Dan orang-orang yang rasikh dalam ilmu.”

Ibnu Wahb رحمه الله berkata: Malik رحمه الله: “Ar-Rasikh adalah orang yang ‘alim yang mengamalkan ilmunya, jika dia tidak mengamalkan ilmunya maka dialah orang yang disebut padanya: “Kami berlindung kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat.”

Termasuk perkara yang mengagumkan adalah apa yang teriwayatkan dalam Shahih Muslim, yaitu sebuah urutan sanad yang terantai dengan pengamalan apa yang mereka riwayatkan;

Imam Muslim berkata: Muhammad bin Abdillah bin Numair mengabarkan: Abu Khalid mengabarkan dari Dawud Abi Hind dari An-Nu’man bin Salim dari ‘Amr bin Aus berkata: Anbasah bin Abi Sufyan mengabarkan padaku pada saat sakitnya yang dia meninggal padanya dengan sebuah hadits membangkitkan kegembiraan padanya, dia berkata: Aku mendenga Ummu Habibah رضي الله عنها berkata: Aku mendengar Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
مَنْ صَلَّى اثْنَتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِىَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa shalat (sunnah) dua belas raka’at dalam sehari semalam akan dibangunkan baginya karena shalat itu sebuah rumah di surga.”

Ummu Habibah رضي الله عنها berkata: “Tidaklah aku meninggalkan shalat itu semenjak aku mendengarnya dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم.” ‘Anbasah berkata: “Tidaklah aku meninggalkan shalat itu semenjak aku mendengarnya dari Ummi Habibah.” ‘Amr bin Aus berkata: “”Tidaklah aku meninggalkan shalat itu semenjak aku mendengarnya dari ‘Anbasah.” Dan An-Nu’man bin Salim berkata: “Tidaklah aku meninggalkan shalat itu semenjak aku mendengarnya dari ‘Amr bin Aus.”

Fuqaha’ adalah orang yang mengamalkan ilmunya, hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dari Abu Al-Jabiyah Al-Fara’ bahwa Asy-Sya’by berkata: “Kita bukanlah fuqaha’, akan tetapi kita mendengar hadits maka kita meriwayatkannya. Fuqaha’ adalah jika dia mendapatkan ilmu maka dia mengamalkannya.”

Ilmu akan terjaga pada kita dengan kita mengamalkannya, hal ini sebagaimana dikatakan oleh Waqi’ رحمه الله: “Kami menjaga hadits (yang kami hafal) dengan mengamalkannya.”

Ilmu itu bukan untuk ditumpuk lalu ditinggalkan, akan tetapi ilmu itu untuk diamalkan. Hal ini sebagaimana kata Al-Khathib Al-Baghdady رحمه الله: “Ilmu itu tujuannya untuk diamalkan, dan amalan itu tujuannya untuk cari keselamatan. Jika ilmu itu tidak diamalkan maka ilmu itu akan menjadi sesuatu yang menyuramkan pemiliknya. Kita berlindung kepada Allah dari ilmu yang menjadi sesuatu yang menyuramkan, yang mewariskan kehinaan dan menjadi belenggu di leher pemiliknya.”

Pemilik ilmu yang tidak mengamalkan ilmunya sama seperti yahudi dan terancam adzab yang pedih sebagaimana diterangkan dalam banyak hadits dan juga sebagaimana kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله: “Orang yang paling berat adzabnya pada hari kiamat adalah seorang pemilik ilmu yang tidak diberi manfaat oleh Allah dengan mengamalkannya. Maka dosanya seperti dosanya orang yahudi.”

Abu Zakaria bin An-Nuhas Ad-Dimasyqy رحمه الله berkata: “Seorang pemilik ilmu jika perbuatannya itu menyelisihi ilmunya, dan perbuatannya mendustakan ucapannya, jadilah ia dibenci di bumi dan di langit, jadilah ia menyesatkan orang yang ingin mencontoh dengannya. Jika dia memerintahkan perkara yang dia sendiri tidak mengamalkannya maka pendengaran akan memuntahkan ucapan orang itu, dan dia sedikit wibawanya di mata manusia, dan dia akan kehilangan kedudukan di kalbu (haati) manusia. Sebagaimana kata Malik bin Dinar رحمه الله: “Sesungguhnya seorang pemilik ilmu jika tiak beramal dengan ilmunya, wejangannya tidak akan mempan untuk kalbu (hati) sebagaimana tetesan air akan meleset dari batu yang licin.”

Maka hal ini juga sekaligus peringatan keras bagi para du’at yang selalu mengajak manusia dalam kebaikan namun dia melupakan dirinya sehingga dia menyelisihi manusia, atau orang yang suka melarang manusia dari kejahatan sementara dia sendiri melakukannya. Ingatlah di sana Allah تعالى berfirman;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ * كَبُرَ مَقْتاً عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan. Demikian besar kemurkaan di sisi Allah jika kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan.”

Dan Allah تعالى berfirman;
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ

“Apakah kalian memerintahkan manusia dengan kebaikan dan kalian melupakan diri-diri kalian padahal kalian membaca Al-Kitab? Tidakkah kalian berakal?”

Dan Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda dalam hadits Anas yang dishahihkan oleh Al-Albany;
أَتَيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عَلَى قَوْمٍ تُقْرَضُ شِفَاهُهُمْ بِمَقَارِيضَ مِنْ نَارٍ، كُلَّمَا قُرِضَتْ وَفَتْ، فَقُلْتُ: يَا جِبْرِيلُ، مَنْ هَؤُلَاءِ ؟ قَالَ: خُطَبَاءٌ من أُمَّتِكَ الَّذِينَ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ، وَيَقْرَءُونَ كِتَابَ اللهِ وَلَا يَعْمَلُونَ

“Aku datang pada malam aku di isra’kan kepada suatu kaum bibir-bibir mereka dipotong dengan gunting dari api neraka, setiap kali dipotong sempurna lagi. Maka aku berkata:”Wahai Jibril, siapa mereka itu?” Dia berkata: “Mereka adalah tukang khutbah dari kalangan umatmu, yang mana mereka berkata sesuatu yang tidak mereka amalkan, mereka membaca kitabullah tapi tidak mengamalkannya.”

Maka sifat seorang pengajar adalah menjadi contoh bagi manusia dengan tindakan dan amalannya bukan dengan ucapannya, berdakwah kepada manusia dengan amalannya dan akhlaqnya sebelum berdakwah dengan pelajaran dan khutbahnya.

Abu Ad-Darda’ رضي الله عنه berkata: “Kecelakaan bagi orang yang tidak tahu.” Satu kali ucapan. “Dan kecelakaan bagi orang yang tahu ilmu kemudian tidak mengamalkan ilmunya.” Diucapkan tujuh kali.

Sufyan bin ‘Uyainah رحمه الله berkata: “Seorang ‘alim itu bukanlah yang hanya mengetahui yang baik dan yang buruk. Seorang ‘alim adalah yang mengetahui kebaikan kemudian mengikutinya dan mengetahui kejelekan kemudian menjauhinya.”

Seorang penyair mengatakan:

Wahai orang yang mengajari orang lain

Tidakkah engkau mengajari dirimu?

Mulailah dengan dirimu, laranglah dirimu dari kejelekannya

Jika engkau telah melaksanakannya, maka engkau orang yang bijak

Janganlah engkau melarang seseorang padahal engkau melakukannya

Sungguh besar aibnya jika engkau berbuat demikian.

Keutamaan Anak Shalih


بسم الله الرحمن الرحيم

     عن أبي هريرة ، عن النبي  قال: ((إن الرجل لترفع درجته في الجنة فيقول: أنى هذا ؟ فيقال: باستغفار ولدك لك)) رواه ابن ماجه وأحمد وغيره بإسناد حسن.
     Dari Abu Hurairah  bahwa Nabi  bersabda: “Sungguh seorang manusia akan ditinggikan derajatnya di surga (kelak), maka dia bertanya: Bagaimana (aku bisa mencapai) semua ini? Maka dikatakan padanya: (Ini semua) disebabkan istigfar (permohonan ampun kepada Allah yang selalu diucapkan oleh) anakmu untukmu”[1].
Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan memiliki anak yang shaleh serta keutamaan menikah untuk tujuan mendapatkan keturunan yang shaleh. Imam al-Munawi berkata: “Seandainya tidak ada keutamaan menikah kecuali hadits ini saja maka cukuplah (menunjukkan besarnya keutamaannya)”[2].
    
Faidah-faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:
::: Keutamaan dalam hadits ini berlaku bagi hamba Allah yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan[3].
::: Anak yang shaleh termasuk sebaik-sebaik usaha yang dilakukan oleh seorang mukmin dalam hidupnya, karena semua amal kebaikan yang dilakukan oleh anak yang shaleh pahalanya akan sampai kepada orang tuanya, secara otomatis dan tanpa perlu diniatkan, karena anak termasuk bagian dari usaha orang tuanya. Inilah makna sabda Rasulullah : “Jika seorang manusia mati maka terputuslah (pahala) amalnya kecuali dari tiga perkara: sedekah yang terus mengalir (pahalanya karena diwakafkan), ilmu yang terus diambil manfaatnya (diamalkan sepeninggalnya), dan anak shaleh yang selalu mendoakannya”[4].
::: Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani – semoga Allah  merahmatinya – berkata: “(Semua pahala) amal kebaikan yang dilakukan oleh anak yang shaleh, juga akan diperuntukkan kepada kedua orang tuanya, tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala anak tersebut, karena anak adalah bagian dari usaha dan upaya kedua orang tuanya. Allah  berfirman:
{وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى}
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS an-Najm:39).
     Rasulullah  bersabda: “Sungguh sebaik-baik (rezki) yang dimakan oleh seorang manusia adalah dari usahanya sendiri, dan sungguh anaknya termasuk (bagian) dari usahanya”[5].
     Kandungan ayat dan hadits di atas juga disebutkan dalam hadits-hadist (lain) yang secara khusus menunjukkan sampainya manfaat (pahala) amal kebaikan (yang dilakukan) oleh anak yang shaleh kepada orang tuanya, seperti sedekah, puasa, memerdekakan budak dan yang semisalnya…”[6].
::: Sebagian dari para ulama ada yang menerangkan makna hadits ini yaitu: bahwa seorang anak jika dia menempati kedudukan yang lebih tinggi dari pada ayahnya di surga (nanti), maka dia akan meminta (berdoa) kepada Allah  agar kedudukan ayahnya ditinggikan (seperti kedudukannya), sehingga Allah pun meninggikan (kedudukan) ayahnya. Ini berdasarkan keumuman makna firman Allah:
{آباؤكم وأبناؤكم لا تدرون أيهم أقرب لكم نفعاً}
“(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu” (QS an-Nisaa’:11)[7].
::: Hadits ini juga menunjukkan bahwa istigfar (permohonan ampun kepada Allah) dapat menggugurkan dosa-dosa dan meninggikan derajat seorang hamba sampai pada tingkatan yang tidak dicapai dengan amal perbuatannya yang lain, terlebih lagi jika hamba tersebut banyak beramal shaleh dan melakukan istigfar[8].



[1] HR Ibnu Majah (no. 3660), Ahmad (2/509) dan lain-lain, dishahihkan oleh al-Buushiri dan dihasankan oleh syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaaditsish shahiihah” (no. 1598).
[2] Kitab “Faidhul Qadiir” (2/339).
[3] Ibid.
[4] HSR Muslim (no. 1631).
[5] HR Abu Dawud (no. 3528), an-Nasa’i (no. 4451), at-Tirmidzi (2/287) dan Ibnu Majah (no. 2137), dihasankan oleh imam at-Tirmidzi dan dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.
[6] Kitab “Ahakaamul janaaiz” (hal. 216-217).
[7] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/339).
[8] Ibid.




Tersenyumlah Untuk Kehidupan


Bangunlah istana dari dalam gubuk sederhana
Rajutlah baju yg indah dari dalam rumah tanah
Bukan dari rumah gedung yg megah

Ketika engkau tersenyum,sementara hatimu dilanda dan dipenuhi kesedihan, maka senyum itu akan meringankan beban derita yg kau rasakan,ia akan membukakan pintu kelapangan...
Jangan pernah ragu untuk tersenyum, karena didalam dirimu terdapat potensi yg melimpah untuk tersenyum.
Jadi jangan sekali kali menyembunyikannya,karena itu berarti engkau mencekik dirimu sendiri didalam kaca penyiksaan dan penderitaan.
Sungguh tidak ada ruginya kamu tersenyum, dan berbicara dengan orang lain dengan dgn menggunakan bahasa hati..Alangkah mempesonanya bibir kita ketika kita berbicara dengan bahasa senyuman.
Ketika engkau tersenyum dihadapan orang lain,engkau telah memberi mereka indahnya kehidupan,semangat optimisme,dan memberitahukan kpda mereka tentang harapanmu yg paling indah.
Sebaliknya,,ketika engkau bertemu dgn mereka dngan wajah murung,jauh dari kasih sayang, maka kamu akan menyiksa mereka dengan pemandangan seperti itu, dan mengacaukan kehidupan mereka yg jernih.

Jadi....mengapa kamu rela menjadikan dirimu
sebagai penyebab terjadinya penderitaan
hidup orang

“ keep smille...!! “
From : shohibatuki linda arista rahayu
To : ukhti aziizah anisa rahmawati

  Wassalamu'alaikum
kamis
26-september-2013
“ Ditaman surga penuntut ilmu